Minggu, 18 Maret 2012

Mengapa Aku Mencintai KAMMI

Serial 2 Tentang Fitri

Saya sekalipun belum pernah berjumpa dengannya. Tapi, karena Allah dan juga karena teknologi informasi, kami merasa dekat. Pernah suatu saat ia meminta dianggap adik, untuk kemudian tergopoh-gopoh meralatnya. Takut menjadi fitnah katanya.


Ia seorang akhwat KAMMI Daerah Solo, staf Departemen Pengabdian Masyarakat. Pada ujung Ramadhan lalu, di Solo, ia - hampir sendirian - mengurus jatah buka bersama untuk 100 orang dari Jami'aturrahmah untuk KAMMI Teritorial V. Hampir sendirian, kerena hampir seluruh pengurus KAMMI Daerah Solo telah mudik, sementara Ramadhan hampir usai.

Ia selenggarakan itu di rumahnya. Dengan melanggar ketentuan Jami'aturrahmah yaitu harus diselenggarakan di masjid. Di rumah, karena tidak ada masjid yan layak di dekat rumahnya - sebuah daerah kristenisasi dengan seorang pastur misionaris yang amat kaya. Acaranya sukses, lebih dari seratus orang - kebanyakan anak-anak - yang menghadiri acaranya. Sebagian dari mereka adalah anak asuh Yayasan Al Fithrah. Yayasan yang ia bangun untuk menghadapi kristenisasi di lingkungannya.

Ia akhwat yang amat cerdas. Ia telah diminta oleh rektornya untuk mengikuti program pertukaran di Jepang selama dua tahun. Anugerah yang ia tolak, karena merasa berat untuk tinggalkan ibu dan yayasannya. Ia telah diminta jadi dosen di almamaternya - Pendidikan Luar Biasa UNS - bahkan sejak ia belum lulus kuliah. Kini, ia dikursuskan bahasa Jepang lagi, mungkin mau diminta ke Jepang lagi.

Pekan-pekan ini ia punya problem besar. Pada awalnya, tiga anak asuhnya butuh duit besar untuk UAN, sementara kas yayasan kosong. Untunglah Allah memudahkan, meski belum tertutupi semua. Pekan terakhir, melalui sebuah SMS, ia menyalahkan dirinya berkali-kali: beberapa anak asuhnya memilih bersama orang tuanya , murtad, keluar dari agama Allah ini.

Tapi ia tetap sosok yang tegar, secara rutin nasihat-nasihat Manajemen Qalbu AA Gym selalu saja ia kirimkan. Beberapa kali berbagi cerita, tentang rasa kecewanya karena belum mampu untuk menyelesaikan bukunya yang bertema "aksesibilitas politik bagi kaum difabel (different abilities)". Buku yang ia letupkan sebagai protes atas ketidakpedulian politisi Indonesia pada para difabel.

Maka, tiap waktu dikala aku jenuh mengurus KAMMI, kecewa terhadap 'pragmatisme' kader-kader KAMMI, dan frustasi dengan masa depan KAMMI, aku selalu menghadirkannya. Menghadirkan seseorang yang bahkan takkan pernah mampu membaca tulisan ini.

Menghadirkan Fitri Nugrahaningrum. Seorang akhwat tuna netra.

# Oleh Imron Rosyadi


Beberapa hari yang lalu, seseorang dg nama Fitri Nugrahaningrum menjadi bintang tamu reality show, tepatnya acara Tuperware She Can. Kisahnya sangat menginspirasi. Kita patut malu apabila semangat kita kalah dengan orang tersebut.


Kisahnya juga pernah dimuat Sebuah Harian terkemuka di Indonesia.

Dia merasa kerasan sebagai tunanetra karena dia bisa menemukan keberartian hidup di tengah gelapnya dunia. Meski ia hanya bisa melihat sosok hitam orang di hadapannya, aktivitas Fitri Nugrahaningrum tak kalah dibandingkan orang lain. Tunanetra yang disandangnya tak menghalangi Fitri mewujudkan mimpinya.

Kalau saya tidak buta, barangkali tak merasakan indahnya dunia, bisa dekat dengan anak-anak. Banyak yang menawarkan untuk menjalani operasi di luar negeri, tetapi saya tolak. Saya takut lupa diri jika bisa melihat lagi,” katanya.

Fitri, lulusan S-2 Program Pengembangan Masyarakat Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah, itu mengajar 100-an anak usia 2-12 tahun dalam kelompok belajar Sahabat Anak Raih Asa (Sahara). Ia dibantu para relawan yang bekerja tanpa gaji. Di Yayasan Al Fitrah yang menaungi Sahara, ada 10 relawan yang mengurusi bimbingan belajar, teater, kegiatan luar ruang, dan deteksi dini kesehatan/gizi anak.

Pada 1997 Fitri membentuk kelompok belajar yang awalnya terdiri atas enam anak jalanan. Ia mengajarkan mereka mata pelajaran sekolah, budi pekerti, dan baca tulis Al Quran.

Ia bercerita, suatu hari saat tengah menyeberangi jalan, ia hampir tertabrak mobil. ”Meskipun waktu itu saya sudah pakai tongkat, tapi alhamdulillah ada anak-anak yang menarik saya,” katanya tentang peristiwa saat dia duduk di bangku SMA itu.

Dari perkenalannya dengan enam anak penolongnya itu, Fitri merasa terenyuh mendengar kisah teman-teman barunya yang mencari nafkah dengan mencari kardus. Usia mereka saat itu antara lima dan tujuh tahun.

”Mereka sering diperlakukan tak manusiawi di jalanan. Cara bicara mereka kasar karena kerasnya hidup yang dijalani. Saya ajak mereka belajar di rumah. Anak yang masih sekolah dibantu biayanya agar tak perlu di jalanan lagi,” kata Fitri.

Sahara dan Samara

Dia menggalang dana dari teman-teman sekolah. Saat itu, ada yang menyumbang Rp 300, Rp 500, Rp 1.000 atau memberikan buku. Kurang dari sebulan, kelompok belajarnya diikuti 119 anak dengan peserta bertambah yang berasal dari anak yatim piatu dan anak dari keluarga tak mampu di sekitar rumahnya.

Pada 1998 kelompok belajar itu diberi nama Al Fitrah. Karena jumlah pesertanya makin banyak, Fitri minta bantuan kepada teman sekolah. Lokasi kegiatan belajar berpindah sampai lima kali, mengikuti kepindahan orangtuanya yang masih mengontrak.

Kegiatan ini lalu mendapat bantuan donatur. Fitri pun menuruti nasihat beberapa donatur untuk membentuk yayasan sebagai payung kegiatannya. Tahun 2000 dibentuk Yayasan Al Fitrah.

Kegiatan terus berjalan meski mengalami pasang surut hingga peserta tinggal 50 anak. Ini antara lain karena dia

sering tinggal di Yogyakarta untuk menyelesaikan tesis tentang pemberdayaan masyarakat pascagempa di Bantul. ”Saya sedih, anak-anak itu kembali lagi ke jalanan,” katanya.

Tahun 2005 Fitri mendirikan pendidikan luar sekolah Satelit Masa Depan Negara (Samara). Ia menyewa gedung sekolah dasar negeri di Solo. Dengan bantuan berbagai pihak, peserta Samara terkumpul 483 anak yang terbagi dalam kelompok 2-4 tahun, 4-6 tahun, 7-9 tahun, dan 9-12 tahun. Sempat berjalan dua tahun, Fitri menghentikan kegiatan karena timbul masalah.

”Sekolah yang kami tempati merasa tersaingi meski kami baru belajar mulai pukul 14.00. Sebenarnya kami ditawari gedung lain oleh Diknas, tapi tempatnya terlalu jauh. Kasihan anak-anak yang orangtuanya tak mampu,” kata Fitri sambil mengajar beberapa anak membuat bunga.

Bersyukur, Fitri dan keluarga hampir merampungkan pembangunan gedung berlantai tiga di depan rumah kontrakan mereka, di tengah permukiman padat Kampung Kandang Sapi, Jebres, Solo. Rumah yang dibangun di atas lahan 100 meter persegi itu untuk kegiatan Samara dan Sahara.

Memanfaatkan ilmunya, Fitri menggabungkan berbagai konsep dan metode pendidikan. Selain memberikan materi pelajaran seperti di sekolah formal, anak-anak juga diberi muatan tentang moral dan budi pekerti, keterampilan, teater, serta kegiatan luar ruang. Mereka juga diajari kewiraswastaan agar nantinya bisa mandiri secara ekonomi.

Tinggi dan berat badan mereka juga dipantau. ”Ada dokter anak yang sukarela membantu memantau kondisi gizi anak-anak,” tutur Fitri.

Fitri yang suka menulis buku, terutama tentang motivasi bagi difabel, ini ingin mewujudkan mimpinya membuat sekolah yang menghargai sepenuhnya bakat anak. Baginya, tak ada anak bodoh, yang ada lingkungan yang tidak memahami bakat anak.

”Saya menggabungkan konsep homeschooling, sekolah alam, dan sekolah formal dalam pembelajaran kami,” katanya.

Untuk membiayai kegiatan itu, Fitri mengandalkan kocek pribadi dan sumbangan donatur. Ia bekerja sama dengan teman dan keluarga membuka berbagai usaha, seperti konveksi, percetakan, dan bimbingan belajar.

Di Samara, ditetapkan iuran pendidikan sukarela sesuai kemampuan, mulai dari Rp 5.000 sampai Rp 20.000. Di kelompok belajar Sahara, peserta membayar Rp 1.000 bagi yang mampu. Biaya operasional kelompok belajar yang kini beranggotakan 100 peserta mencapai Rp 3 juta per bulan. Biaya itu dipenuhi dari bantuan tiga donatur, Rp 875.000 sebulan, dan penghasilan dari berbagai usaha.

”Saya masih dibantu ibu yang membuat sari kedelai dengan ibu-ibu di kampung. Bapak juga membantu dengan membuat baju pesanan untuk berbagai instansi di wilayah Indonesia timur,” katanya.

Tukang pijat

Ayahnya, BAE Soewarno (65), pensiunan tentara dan ibunya, Tjanti Herawati (51), seorang bidan, mendorong anak-anaknya berprestasi. ”Ibu selalu berpesan agar saya menjadi anak pintar. Saya sering mendengar Bapak berdoa agar saya tak hanya jadi tukang pijat,” kata Fitri.

Sindroma Steven Johnson (SSJ) merenggut daya lihat Fitri. Penglihatannya mundur saat ia kelas V SD dan benar-benar hilang saat duduk di bangku SMA. Seorang dokter anak memberinya obat yang malah membuat dia pingsan dan sekujur tubuhnya gosong. Kasus ini yang pertama terjadi di Solo kala itu.

SSJ adalah reaksi alergi sistemik terhadap obat atau virus tertentu. SSJ menyerang selaput lendir sehingga bisa menyebabkan komplikasi berupa radang kornea dan menyerang bola mata. Ini dapat mengakibatkan kebutaan. SSJ juga bisa menimbulkan radang hati, ginjal, saluran pencernaan, sendi, dan paru.

Akibat terkena sindrom ini, Fitri dirawat di rumah sakit selama enam bulan. Hanya sempat seminggu di rumah, kembali ia harus menginap di rumah sakit selama tiga bulan. Dokter pernah memvonisnya tak mampu bertahan hidup lama. Tuhan berkehendak lain dan memberinya kehidupan hingga kini. Anugerah ini dimaknai Fitri dengan karya nyata bagi sesama.

Kompas,tanggal 11 Juni 2009 dengan judul: "Dunia Gelap yang Memberi Terang"


By Number One

1 komentar:

  1. selamat siang..
    saya bani dari majalah TEMPO. saat ini kami bekerjasama dengan astra sedang mengadakan program SATU Indonesia Award. program ini mencari para sosok yang berdedikasi tinggi kepada masyarakatnya dan lingkungannya dan belum pernah menerima penghargaan dari manapun. kami tertarik dengan saudari Fitri ini dan kegiatannya..
    bisa diberikan nomor kontak yang dapat dihubungi..

    info lebih lanjut tentang program ada di website resmi kami.
    www.satu-indonesia.com

    terima kasih ditunggu jawabannya
    saya dapat dihubungi dinomor 087886200264 di hari kerja

    BalasHapus