Senin, 26 Maret 2012

KAMMI Go Clean, Save Our Earth

Dalam rangka memperingati Milad yang ke XIV, Minggu (25/3/2012) KAMMI daerah Jember mengadakan acara gerakan moral “KAMMI Go Clean”. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk menghimbau masyarakat agar menjaga lingkungan. Tempat yang menjadi sasaran Go Clean kali ini adalah Alun-alun kota Jember.

Minggu adalah hari santai dan olahraga bagi masyarakat umumnya. Begitupun yang terjadi di Kota Jember hari itu. Semua masyarakat dari berbagai kalangan datang, baik tua, muda, remaja, bahkan batitapun ada. Hal inilah yang menjadi alasan KAMMI melakukan kegiatan disini. Lebih banyak orang yang melihat maka harapannya akan lebih banyak pula yang sadar.

Pkl. 07.30 WIB beberapa kader sudah siap dengan perlengkapan masing-masing. Ikhwan dengan kresek dan akhwat dengan bunga. Konsep kegiatannya adalah, ikhwan akan memunguti sampah yang berserakan, sedangkan akhwatnya mengikuti dibelakang sambil membagikan bunga. Untuk rutenya sendiri, para kader akan berjalan mengelilingi Alun-alun searah jarum jam.



Selain memunguti sampah dan menyebar bunga, beberapa kader juga terlihat sibuk menunggui adik-adik lomba menggambar dan main bola (saat itu adik-adik binaan KAMMI ikut serta meramaikan kegiatan). Mereka juga ingin membantu KAMMI untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa kebersihan itu penting. Semoga dengan membawa adik-adik, semua orang yang ada disitu merasa malu. “Masa mereka kalah sama anak kecil?
Lomba ini diadakan sebagai salah satu bentuk apresiasi KAMMI atas kesediaan adik-adik ikut berpartisipasi meramaikan kegiatan ini. Mereka memang anak-anak yang luar biasa...








Ayo semua... jangan mau kalah sama anak kecil...

Jika melihat situasi dan kondisi yang ada, mungkin kegiatan ini terlihat kurang efektif atau terkesan tidak ada apa-apanya. Tapi, KAMMI benar-benar berharap kelompok kecil ini bisa menarik perhatian ditengah-tengah ribuan masyarakat yang ada. Bukankah untuk mendapatkan sesuatu yang besar kita harus mulai dari yang kecil? Dan KAMMI berharap dengan sesuatu yang kecil ini bisa menimbulkan dampak yang besar.

“Ini hari apa ya mbak?” (komentar salah seorang pengunjung ketika menerima bunga yang KAMMI bagikan). Aneh mungkin, karena biasanya penyebaran bunga itu dilakukan ketika hari besar saja, seperti Hari Kartini atau Hari Ibu.
“Bukan apa-apa pak, selamat berolahraga dan jaga lingkungan ya...” (Alhamdulillah perhatian itu KAMMI dapatkan).

“Save Our Earth. Kebersihan Sebagian Dari Iman”. Jika Anda Masih Punya Iman, Maka Jagalah Kebersihan” itulah jargon kegiatan kali ini. KAMMI hanya bisa berusaha tapi hasil akhir sepenuhnya ada di tangan Allah...









By: Rinpaka

Segenggam Harapan

Harapan tinggallah harapan...
Orang boleh menganggap himbauan,
dari apa yang diuraikan.
Terletak amat mendasar program pemerataan.


Namun, semuanya banyak hambatan,
dalam mencapai keseriusan.
Akankah aku ini merdeka ?
Bila prinsip yang terkandung dalam bahasa cinta kita hayati,
kita wujudkan dalam gambaran sederhana...?

Tetapi harapan yang didapat hanyalah menyesakan dada,
bagai bom yang melanda di pulau dewata.
Suatu keseriusan hubungan kita kena noda dan tercela.
Pertanyaan yang timbul masalah teroris,
belumlah terjawab habis.
Jawab yang pasti hanyalah memperpanjang kesengsaraan.

Sesuai dengan menjelangnya bulan Ramadhan,
aku merintih kaupun menangis,
karena diteror yang semakin sadis.

Kita akui kehilangan kepercayaan,
dalam sekelumit romantika kehidupan.
Kita kehilangan pegangan,
yang tersisa hanyalah segenggam harapan.

Bila dalam perbincangan tak terkupas tuntas,
hanyalah luka yang semakin mengganas.
Masa hubungan yang harus diakhiri.
hanya memperpanjang yang tiada arti.

Belumlah terjawab masa titik temu,
hanya menghasilkan kehancuran di kalbu.
Itulah keadaan kita yang terus dikuntit.
Antara kau dan aku bagai benang yang dirajut.

Harus diakui...
keterbatasan kemampuan yang menjadikan hambatan.
Tapi kini, tergantung tanggungjawab dan kebijakan.
Semoga berakhir dengan cepat sesuai potensi hati.

Dalam waktu yang semakin menegang,
kita kehilangan ingkar janji.
Kita junjung kesepakatan yang ada,
demi masa depan yang telah kita tata...


By: Rinpaka Maida (FKIP/ 2010)

Karya ini pernah dimuat di Radar Jember, 25 Maret 2012


PALESTINA, DAPATKAH AKU UNTUKMU..??

“Rio, dimatikan dulu televisinya! Sudah waktunya mandi” suara ibu berterik pada adikku yang setia di depan TV tiap hari minggu, sampai terkadang ia lupa mandai dan makan.

Adikku yang masih kelas lima SD itu sering sekali dimarahi ibu, dan alasannya selalu karena TV. Yang susah beragakat sekolahlah, susah makanlah, bahkan diajak bermain teman-temannya pun dia menolak dengan alasan tak mau meninggalkan TV yang sudah menjadi teman setia hari-harinya.

“Ayo Rio!” ibu kembali berteriak

Rio sendiri hanya diam pura-pura tidak mendengar. Ia sering sekali melakukan hal itu, dan itu yang membuat ibu tiap pagi teriak-teriak, sampai terkadang menggangguku belajar. Huuuufft... haruskan TV di rumah dijual?? Tapi kalau dijual aku juga ikut susah, karen atak bisa update informasi tiap harinya dari berita. Hemmmm. Rio kapan kamu berubah??

Ibu yang tidak tahan karena enam kali ia memanggil Rio tapi tidak juga di respon, segera keluar dari dapur meninggalkan tempe yang sedang ia goreng dan menemui Rio yang mententeng di depan TV.

“Kamu mendengar teriakan ibu?” tanya ibu agak halus sambil masih membawa sotil dari dapur

Rio tak menghiraukan pertanyaan itu dan tetap asyik dengan aktivitas rutinnya. Hal itu membuat ibu harus semakin bersabar. Ibu berusaha menenangkan dirinya, karena percuma dikasari , toh Rio juga tidak akan ngefek. Ibu mulai menjongkokkan tubuhnya di dekat Rio yang duduk anteng di singgahsananya.

“Rio sayang, mandi yuk, Nak!”

“Tidak mau” jawabnya kasar

“Nanti nonton lagi, tapi mandi dan makan, dan TV-nya dimatikan dulu!”

“Tidak mau ya tidak mau, lagian hari inikan hari minggu” sergahnya membela diri.

Kini ibu harus lebih berfikir keras untuk mengalahkan Rio. Menyentuh remot saja tidak bisa, apalagi mematikan TV tanpa seizin Rio, remot TV sudah dikuasai Rio sepenuhnya. Ibu agak lengah dan ia mulai mengalah, karena memang hari ini hari minggu, namun yang ia takutkan adalah hari-hari sekolah. Rio sering terlambat sekolah jika sudah mantengin TV dari subuh, dan itu bisa seharian jika hari minggu.

“Nanti Rio juga makan dan mandi” tambahnya

Ibu pun berdiri dan meningglkan Rio, walau sebenarnya ia kesal saat anak itu tak mau menghiraukan ibunya sendiri.

“Bagaimana, Bu? Rio mau kelur tidak?” tanyaku

Ibu menggelengkan kepala, dan ia nampak lelah.

“Bagaimana caranya menasehati anak itu ya? Dikasari tidak bisa, apalagi dengan kata-kata halus. Ibu lelah jika tiap hari memarahi dia. Dia tidak menghiraukan sama sekali. Ibu takut terjadi sesuatu buruk yang lebih dari ini, karena Ibu merasa ia sudah sedikit tak memiliki semangat untuk sekolah” tutur ibu sampai meneteskan airmata.

“Sabar, Bu! Kita harus lebih giat untuk menasehatinya”

“Ibu lelah, Nak, tapi ibu harus bisa, karena ini tanggung jawab Ibu”

Saat itu tanpa sepengetahuan kami, Rio melihat kami dari balik pintu dapur. Ia mengintip apa yang kami lakukan. Ada sedikit rasa bersalah yang tergores di wajahnya, dan ia mulai berfikir dengan apa yang ia lakukan selama ini, namun kecintaannya pada TV membuat dia kembali ke kursi panasnya di depan TV. Saat itu ia melihat acara berita pagi itu, dan kebetulan berita lagi menampilakan peristiwa di palestina. Ia nampak serius dan matanya melotot melihat perjuangan anak-anak palestina yang berjuang hanya dengan sebuah batu-batu kecil yang mereka gunakan untuk melawan teng-teng besar Israel. Rio nampaknya tertarik dengan acara berita pagi itu, sampai-sampai ia tak memberikan kesempatan tangannya untuk mengganti chenel lain. Setiap kalimat yang diucabkan penyiar berita ia dengarkan dengan saksama.

Aku yang kebetulan lewat di depan ruang TV, terkejut melihat Rio begitu serius melihat acara berita itu, sampai-sampai ia menggeser maju bantalnya agar ia bisa melihat lebih dekat. Aku merasa takut jika seorang anak kecil melihat berita tentang peperangan seperti itu. segera aku mendekatinya.

“Kamu tidak boleh melihat acara seperti ini, Rio!” perintahku

Rio tidak menghiraukan, bahkan tak menoleh ke arahku sedikitpun, dan aku kaget saat melihat ia meneteskan airmata. Ia menangis saat melihat mayat-mayat bocah palestina. Aku langsung terdiam tak berani mengatakan apapun lagi. Entah apa yang sedang ada dalam fikira adikku saat itu, namun aku berusaha mendekatinya.

“Kau kenapa, Rio?” tanyaku pelan

Rio lagi-lagi tak menjawab dan airmata masih membasahi pipinya.

“Mereka adalah anak-anak pejuang untuk negaranya, mereka tidak kenal lelah untuk bangkit, walau hanya batu senjata mereka. Sungguh kamu sangat beruntung Rio, kamu msih punya kakak, ibu dan ayah, sedang mereka tak punya keluarga, bahkan bermain pun tak akan tenang, saat nyawa mereka terancam oleh para tentara-tentara perang itu” aku mulai menceritakan banyak tentang palestina dengan harapan ia bisa berfikir dan mau sedikit berubah.

“mereka tak lagi bisa sekolah, karena gedung-gedung sekolah mereka sudah hancur, yang bisa mereka lakukan adalah tetap bertahan dan berusaha berjuang, walau perjuangan mereka tak seberapa, namun sungguh luar biasa semangat mereka”

Ku lihat airmatanya semakin deras keluar, dan aku pun langsung memeluknya. Aku bisa merasakan tulusnya airmata yang diteteskan oleh adikku. Ia mungkin merasa sedih melihat saudara-saudara kita di Palestina yang belum bisa merasakan kedamaian hidup seperti apa yang kita dapatkan.

“Apa yang dapat kita lakukan untuk mereka, Kak?” tanyanya

Aku tersenyum mengelus rambutnya yang lurus itu.

“Menurutmu apa yang bisa kita lakukan?” aku balik bertanya mengajaknya berfikir, dan ia menggelengkan kepala. Aku pun kembali tersenyum. Aku sengaja tak memberinya jawaban, karena aku ingin dia memahami sendiri dan tau apa yang harus ia lakukan. Aku hanya mengajaknya untuk makan pagi itu, dan dia mau datang ke dapur. Ibu tersenyum bahagia menyambut kedatangan Rio, dan segera menyuguhkan segelas susu, nasi beserta lauk ikan di piring.

Aku dan ibu tersenyum melihat Rio makan dengan lahapnya. Tak biasanya ia seperti itu. ia seperti bukan Rio biasanya yang harus dipaksa untuk makan.

Malam itu, saat aku hendak masuk kamarnya untuk meastikan apakah dia sudah tidur atau belum. Aku terkejut melihat ia membuka kotak tabungannya dan menghitung berapa uang yang ia punya. Ia serius duduk di atas kasur sampai aku tak berani masuk. Biarkan adikku melakukan apa yang ia mau selama itu benar. Aku hanya bisa tersenyum dan segera menutup pintu kamarnya.

Entah apa yang ia fikirkan setelah melihat berita tentang Palestina, karena kini tiap pagi sebelum berangkat sekolah ia masih memantengi TV, namun kini chenel berita yang ia lihat, bukan lagi serial kesukaannya, dan ternyata dugaanku benar, ia manteng di depan TV cuma pengen melihat perkembangan Palestina. Aku sempat khawatir, namun kali ini aku mencoba membiarkannya. Aku ingin tau apa yang akan ia lakukan selanjutnya.

Kini Rio tak lagi telat berngakat kekolah, bahkan uang sakunya ia tabung, sehingga ia tidak jajan di sekolah. Sedikit khawatir, namun jika itu bisa membuatnya berubah maka aku akan mendukungnya.

Pagi itu ia sudah bangun pagi dan tiba-tiba mengambil sapu. Aku dan ibu terdiam melihatnya. Ia menyapu halaman depan rumah. Walau tak bersih dan penuh perjuangan saat memakai sapu kerak yang lumayan berat, namun aku dan ibu bisa melihat keikhlasannya. Ia melakukan itu karena kemauan hatinya. Aku dan ibu sampai menangis. Seorang Rio yang dulunya bandel, kini ia datang ke dapur ingin membatu kami memasak.

“Aku ingin membantu, Ibu”

“Tidak usah, Nak!” kata ibu

“Rio membantu menyapu dapur saja ya?” tanyaku

“Iya” Jawabnya tersenyum

Sudah seminggu lebih ia seperti itu. perubahan ia mulai sedikir demi sedikit muncul. Ia nampaknya sudah mengetahui apa yang harus ia lakukan. Suatu hari ia mengajakku ke posko bantuan untuk Pelestina yang terletak di kotaku. Lumayan jauh, namun aku tak menolak memenuhi keinginan adikku. Entah apa yang akan ia lakukan di posko nanti, namun ia nampak senang saat aku mau mengantarnya.

Sampai di posko bantuan, aku melihat ia begitu semangat untuk segera masuk posko tersebut.

“Apa yang aka kamu lakukan, Rio?” tanyaku

“Aku sudah menambah uang tabunganku, Kak. Sepuluh hari ini aku tidak jajan, aku tabung untuk membantu teman-teman di Palestina”

Airmataku langsung menetes mendengar itu. jadi itu yang ia lakukan akhir-akhir ini? Jadi itu alasan ia membuka kotak tabungannya? Tuhan, terimakasih jika memang ini jalan kedewasaan adikku. Terimaksih Tuhan. Aku pun segera memeluknya. Aku berikan motivasi besar untuknya dengan pelukan hangat itu. aku bangga melihat Rio yang kini peduli dengan orang lain.

Aku pun masuk ke posko tersebut dengan Rio. Kami disambut baik oleh salah seorang petugas posko. Adikku sempat melihat-lihat gambar-gambar negara Palestina yang hancur, ia sempat terdiam melihat itu semua. Mungkin hatinya terenyuh, namun aku segera menggandeng tangannya menuju ruang utama, di mana kami bisa langsung bertemu pak Marno yang bertanggung jawab di posko Palestina tersebut. Kami sempat ngobrol banyak dengan pak Marno , apalagi Rio, ia bertanya banyak hal tentang anak-anak Palestina, tak lupa kami menyampaikan maksud kedatangan kami di posko tersebut. Pak Marno merasa senang sekali dan bangga saat ia tau seorang anak kelas lima SD datang dan berniat memberikan bantuan untuk Palestina.

Sejak saat itulah Rio mulai rajin belajar dan tak segan-segan membantu kegiatanku dan ibu membersihkan rumah. Ia mengatakan padaku bahwa ia kelak ingin pergi ke Palestina untuk membantu mereka. Aku sih tersenyum menganguk saja, walau sebenarnya tak rela kalau adikku pergi ke sana kelak. Biarkan ia merajut mimpinya. Entah apa itu yang penting tak salah dan mampu membangkitkan motivasi dalam dirinya.

“Kak, aku ingin jadi presiden saja, biar nanti bisa mengarahkan tentaraku untuk pergi ke Palestina membantu mereka” katanya

“Iya, iya. Rio bebas bermimpi apapun yang Rio mau”


By: Ulin Nurviana (Mahasiswi FMIPA 2010)

Karya ini pernah dimuat di Radar Jember, 04 Maret 2012