Jumat, 20 November 2009

Madrasah KAMMI

Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh..

Ikhwah fillah rohimakumullah, alhamdulillah... kali ini dept.kaderisasi KAMMI Komsat Unej dapat berapresiasi dalam blog ini khusus untuk MK1 Klasikal (Madrasah KAMMI 1 Klasikal)...

what's that??? yuk kita tengok di MANHAJ KADERISASI 1427H. Insya Allah lebih berkah.

Madrasah KAMMI merupakan kelanjutan atau kelengkapan dari keseluruhan proses pengkaderan KAMMI. Model Madrasah KAMMI dibagi dalam dua bentuk yakni
- Madrasah KAMMI (MK) Khos, dan
- Madrasah KAMMI (MK) Klasikal.

So, yang Klasikal itu apa?

- MK1 Klasikal merupakan sarana pengkaderan formal yang menitik beratkan pada pengembangan nalar, minat dan kemampuan peserta pada bidang/tema tertentu sebagai kelanjutan dari pengkaderan yang dikembangkan melalui Dauroh Marhalah.
- MK klasikal ini dapat dilakukan melalui kegiatan ta’lim anggota dan atau forum diskusi.
- Materi2 yang akan disajikan dalam MK1 Klasikal ini setidaknya menyangkut:

1. Ghazwul fikr
2. Fiqh dawah (urgensi dawah dan karakteristiknya)
3. Siroh nabawiyah (mengenal pribadi rasulullah)
4. Pengantar politik Islam dan Barat
5. Sejarah dan perkembangan Islam
6. Training konsepsi diri-Mahasiswa Muslim
7. Studi tokoh Hasan al-Banna dan Sayyid Quthb
8. Bedah buku: ‘Komitmen Muslim terhadap Harokah Islamiyah’
9. Sejarah dan perkembangan gerakan mahasiswa
10. Pemutaran film
11. Mengenal sejarah dan potensi Indonesia

So, ikhwah fillah rokhimakumullah... sekarang udah tau kan what's the meaning or MK1 Klasikal??

So, tunggu apa lagi? Bagi seluruh kader KAMMI yang telah mengikuti DM1 dan belum dinyatakan sebagai AB1, maka selayaknyalah mengikuti MK1 Klasikal yang diadakan oleh kaderisasi KAMMI Komisariat UNEJ ini. Untuk info lebih lanjut, dapat dilihat di posting-posting selanjutnya..

Thankz for ur attention, keep ukhuwah, safe hamatsah, n...

Wassalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Senin, 09 November 2009

Dia Yang Telah Pergi...





Innalillahi wa inna ilaihi raajiun. Telah berpulang ke rahmatullah:
saudara kami, sahabat kami, sang aktivis kebenaran, cendekiawan muslim,
mahasiswa berprestasi yg UNEJ miliki, calon perawat yg berjiwa sosial
tinggi, seorang yg berpikiran maju kedepan.
Semoga surga Allah
bersamamu... Amin...
Walaupun raga tak bersua, namun 'ghirohmu' kan tetap ada disini...bersama KAMMI...

Hari - hariku sepi..
tiada lagi senyummu...
tiada lagi candatawamu...
tiada lagi hari-hari indah bersamamu...
selamat jalan wahai sahabat.. selamat jalan..
hanya kenanganmu yang selalu ada yang tetap membekas di hati..
tak akan kulupa hingga ajal menanti...
akan ku kenang persahabatan ini, persahabatan 2 insan manusia...
yang takkan terpisahkan oleh ruang dan waktu..
kenanglah...kenanglah..
kenanglah selalu kenangan indah bersama teman-teman KAMMI..
wahai sobatku yang disana....
semoga rahmat dan maghfiroh Allah aza wa jalla senantiasa menyertaimu...
dan Syafaat Rasululullah saw memudahkanmu dihari perhitungan kelak...

(Mengenang sahabat seperjuangan, Akhi Zakaria
Rusman yg meninggal 7 Nopember 2009)

Minggu, 08 November 2009

PENGUMUMAN JADWAL MK 1 BAGI AB1

Assalammualaikum Wr.Wb..

Bagi Anggota Biasa 1 Kammi komisariat unej, diwajibkan mengikuti Madrasah klasikal 1 yang akan diselenggarakan tiap hari minggu insyaallah jam 15.30 bertempat di Yayasan Islamic Center, Jl.Danau Toba Kompleks SDIT Harapan Umat. MK1 Dimulai mulai minggu depan tanggal 15-11-2009 dan akan diadakan sebanyak 13 kali pertemuan..mohon bagi antum wa antunna yang membaca pengumuman ini bisa menginformasikan ke teman-teman yang lain....
Jazakumullah Khoiron Katsiro...
Wassalammuaalaikum Wr.Wb

Rabu, 04 November 2009

Menjadi Politisi Dakwah




dakwatuna.com – Apakah politisi dapat menjadi dai? Atau apakah dai dapat menjadi politisi? Dan apakah mungkin kegiatan dakwah menjadi kegiatan politik? Atau sebaliknya kegiatan politik menjadi kegiatan dakwah? Menjawab beberapa pertanyaan di atas tidaklah mudah, apabila kita melihat persepsi masyarakat tentang dakwah dan politik. Dakwah dan politik adalah dua ‘kata’ yang kontra bagi mereka. Hal itu karena politik dipahami sebagai aktifitas dunia, sedang dakwah dipahami sebagai aktivitas akhirat. Yang pada gilirannya dipahami bahwa dakwah tidak pantas memasuki wilayah politik, dan politik haram memasuki wilayah dakwah. Dakwah adalah pekerjaan para ustadz, dan politik pakerjaan para politisi. Jika seorang ustadz yang menjadi politisi, ia harus menanggalkan segala atribut dan prilaku ke-ustadz-annya, dan harus mengikuti atau beradaptasi dengan perilaku para politisi. Demikian pula apabila seorang politisi menjadi ustadz ia pun harus menanggalkan baju politiknya, dan jika tidak, ia akan tetap dicurigai menggunakan agama sebagai alat politik.

Tapi, pertanyaan di atas akan menjadi mudah untuk dijawab, apabila politik dipahami sesuai dengan definisi Aristoteles bahwa politik adalah: “Segala sesuatu yang sifatnya dapat merealisasikan kebaikan di tengah masyarakat.” Definisi ini meliputi semua urusan masyarakat, temasuk di dalamnya masalah akhlak yang selama ini menjadi wilayah kerja dakwah, sebagaimana dipahami masyarakat.

Dan atau apabila dipahami definisi politik menurut Imam Syahid Hasan Al-Banna, yaitu:

“Politik adalah hal memikirkan tentang persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat.” Intermal politik adalah “mengurus persolalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan, dan dikeritik jika mereka melakukan kekeliruan.” Sedang yang dimaksud dengan eksternal politik adalah “memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, mengantarkannya mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukannya di tengah-tengah bangsa lain, serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusan-urusannya.”

Baik internal maupun eksternal politik, sama-sama mencakup ajakan kepada kebaikan, seruan berbuat makruf dan pencegahan dari kezhaliman, yang selama ini menjadi wilayah kerja dakwah.

Dengan pemahaman dua definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa politik dan dakwah adalah dua kegiatan yang sangat terkait, dan sangat mungkin dakwah menjadi kegiatan politik, atau politik menjadi kegiatan dakwah, atau dapat disebut two in one. Bahwa dakwah adalah politik apabila ia berperan memahamkan masyarakat kepada hak dan kewajiban mereka. Dan bahwa politik adalah dakwah jika ia berperan mengajak masyarakat berbuat baik, memfasilitasi mereka berbuat makruf dan menutup semua pintu bagi masyarakat untuk berbuat zhalim dan dizhalimi.

Secara operasional, bahwa dakwah adalah politik dan politik adalah dakwah dapat dipahami dengan baik oleh setiap muslim apabila pertama, memahami universalitas Islam; kedua, memahami risalah penciptaan manusia; dan ketiga, mengatahui cara merealisasikan risalah tersebut sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga setiap muslim harus menjadi da’i sekaligus menjadi politisi. Karena itulah Hasan Al Banna mengatakan, “Sesungguhnya seorang muslim belum sempurna keislamannya kecuali jika ia menjadi seorang politisi, mempunyai pandangan jauh kedepan dan memberikan perhatian penuh kepada persoalan bangsanya.”

Lalu bagaimana menjadi politisi dakwah? Berikut ini sub-sub bahasan yang menjelaskan lebih rinci mengenai masalah ini:

1. Kedudukan Politik Dalam Islam

Islam agama sempurna, mencakup seluruh urusan kehidupan manusia yang terdiri dari kehidupan individu, keluarga, masyarakat, dan negara, serta segala aktifitas yang meliputnya, seperti ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan lain sebagainya. Islam tidak memilah antara kehidupan dunia dan akhirat. Dalam setiap aktifitas mengandung unsur dunia dan akhirat sekaligus.

Shalat misalnya, dalam persepsi banyak orang ia adalah amalan akhirat angsih. Tapi jika ditelaah lebih dalam, dapat ditemukan bahwa shalat adalah amalan akhirat sekaligus amalan dunia. Ia menjadi demikian karena, pertama, shalat dilaksanakan di dunia, pahalanya saja yang diperoleh di akhirat; kedua, shalat itu dzikir, dan setiap yang berdzikir pasti mendapatkan ketenangan, dan ketenangan itu kebutuhan asasi manusia dalam beraktifitas. Rasulullah saw jika sedang gundah, beliau berkata kepada Bilal: “Tenangkanlah kami dengan shalat hai Bilal!” dan yang ketiga, shalat sangat dianjurkan dilaksanakan dengan berjamaah, dan bagi yang melaksanakannya mendapatkan derajat 27 kali lipat dari pada yang shalat sendirian. Shalat berjamaah membuat kita – dengan sendrinya – bersilaturahim, mendidik kita hidup bermasyarakat dan bernegara yang teratur dan rapi. Dalam shalat berjamaah harus ada imam dan makmum yang semua tindakannya harus sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, makmum harus taat pada imam, mengikuti semua gerakan dan perintah imam, apabila tidak maka shalat sang makmum tidak sah. Dan apabila sang imam salah atau khilaf, maka wajib bagi makmum untuk menegurnya sampai imam kembali kepada yang benar. Demikian pula seharusnya yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Contoh yang lain, kegiatan jual beli, dalam persepsi banyak orang, ia adalah kegiatan dunia angsih. Padahal jika ditelaah lebih mendalam, maka ia pun sekaligus menjadi kegiatan akhirat. Hal itu, karena walaupun zhahirnya jual beli adalah amalan dunia, tapi karena di dalamnya ada aturan main yang harus di patuhi oleh masing-masing penjual dan pembeli, dan jika mereka patuh pada atauran itu, maka keduanya mendapatkan pahala yang akan diperolehnya di akhirat, tapi jika salah satu atau keduanya menyalahi atuaran tersebut, maka yang berbuat salah mendapatkan dosa, yang hukumannya akan ia dapatkan pula di akhirat. Oleh karena itu Rasulullah saw besabda, “pedagang yang jujur mendapatkan naungan arasy pada hari kiamat.”

Dengan demikian, semua amalan, baik mahdhah maupun gairu mahdhah di dalam Islam, memiliki kedudukan yang sama, termasuk di dalamnya politik. Bahkan jika politik berarti kekuasaan, Utsman bin ‘Affan ra berkata: “Al-Qur’an lebih memerlukan kekuasaan dari pada kekuasaan membutuhkan Al-Qur’an.”

Karena politik bagian dari keuniversalan Islam, maka setiap muslim meyakini bahwa Islam memiliki sistim politik yang bersumber dari Allah, dicontohkan oleh Rasulullah dan dikembangkan oleh para sahabat dan salafussaleh, sesuai dengan dinamika perkembangan hidup manusia setiap masa. Berikutnya setiap muslim pun siap menjalankan sistem itu, dan tidak akan menjalankan sistim yang lain, karena kahawatir akan tergelincir pada langkah-langkah syaitan. Itulah bagian dari pengertian firman Allah SWT; “Hai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh). Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syatan. Sesungguhnya syaitan itu bagi kalian adalah musuh yang nyata.” (Al-Baqarah: 208)

2. Peran Politik Dalam Dakwah

Allah telah menetapkan risalah penciptaan manusia, yaitu beribadah kepada-Nya, kemudian menjadikannya khalifah dalam rangka membangun kemakmuran di muka bumi bagi para penghuninya yang terdiri dari manusia dan alam semesta.

Agar risalah ini menjadi abadi dalam sejarah peradaban manusia, Allah SWT ‘merekayasa’ agar dalam kehidupan terjadi hubungan interaksi ‘positif’ dan ‘negatif’ di antara semua makhluk-Nya secara umum, dan di antara manusia secara khusus. Yang dimaksud dengan interaksi positif ialah, adanya hubungan tolong menolong sesama makhluk. Sedangkan interaksi negatif ialah, adanya hubungan perang dan permusuhan sesama makhluk. Allah SWT berfirman: “…Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai yang dicurahkan atas semesta alam.” (Al-Baqarah: 251)

Keabadian risalah tersebut sangat tergantung pada hasil dari setiap interaksi baik yang positif maupun negatif. Jika yang melakukan tolong menolong adalah orang-orang saleh, yang pada gilirannya mereka saling menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan; dan jika berada dalam peperangan, dimenangkan pula oleh orang-orang saleh itu, maka pasti yang akan terjadi adalah keabadian risalah.

Tapi jika yang melakukan tolong menolong adalah orang-orang buruk yang bersepakat melaksanakan kejahatan dan permusuhan, dan selanjutnya mereka pula yang memenangkan peperangan, maka pasti yang akan terjadi adalah kehancuran.

Disinilah letak politik berperan dalam dakwah. Dakwah mengajak pada kebaikan, melaksanakan risalah penciptaan manusia, menyeru kepada yang makruf dan mencegah semua bentuk kemungkaran, sementara politik berperan memberikan motivasi, perlindungan, pengamanan, fasilitas, dan pengayoman untuk terealisasinya risalah tersebut.

Sejarah telah membuktikan, bahwa naskah-naskah Al-Qur’an yang sangat ideal pernah menjadi kenyataan dalam kehidupan sehari-hari umat manusia. Pada zaman Nabi saw, seorang Bilal bin Rabah yang hamba sahaya pada masa jahiliyah menjadi orang merdeka pada masa Islam, dan memiliki kedudukan yang sama dengan para bangsawan Quraisy, seperti Abubakar Siddiq dan Umar bin Khattab. Ini karena Islam yang didakwahkan oleh Rasulullah saw mengajarkan persamaan derajat, sekaligus beliau sebagai pemimpin umat – dan tidak salah jika dikatakan pemimpin politik umat – menjamin realisasi persamaan derajat itu sendiri. Sehingga pernah suatu ketika beliau marah kepada seorang shabatnya yang mencela warna kulit Bilal.

Pada zaman yang sama, ketika Nabi saw mengirim pasukannya ke negeri Syam, beliau berpesan agar pasukan itu tidak menebang pohon kecuali untuk kebutuhan masak, melarang membunuh anak-anak, perempuan, orang tua yang tidak ikut berperang dan orang yang telah menyerah, beliau juga melarang membunuh orang yang sedang beribadah di gereja, dst. Ini semua adalah buah dari ajaran Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an.

Sepeninggalan beliau, Rasulullah digantikan oleh Abubakar Siddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib secara berurutan. Pada zaman keempat sahabat itu, keadaan yang telah dibangun oleh Rasulullah saw tidak berubah, semua warga dibawa kepemimpinan khilafah menjalankan hak dan kewajiban, mendapatkan persamaan derajat, tidak ada yang dizalimi kecuali mendapatkan haknya, atau berbuat zhalim kecuali telah mendapatkan sangsi. Keadaan ini berlangsung sampai masa keemasan Islam di Damaskus, kemudian di Bagdad dan Andalusia.

Tapi seirng dengan perkembangan berikutnya, umat menjauh dari agamanya, kegiatan agama dijauhkan dari kegiatan realitas kehidupan masyarakat sehari-hari, demikian pula sebaliknya, hingga sampailah zaman itu pada generasi kita.

Kita bersedih dengan keadaan kita, umat Islam sebagai umat terbesar di alam raya ini, tapi terzalimi hak-haknya, umat Islam sebagai penduduk mayoritas di negeri tercinta ini, tapi terbantai di Maluku dan di Poso, tidak boleh menjalankan syariat agamanya secara kaffah, dihambat para pemimpinya yang saleh untuk memimpin bangsanya, tidak diberi kesempatan yang sama dalam mengembangkan ekonominya, dst.

Mungkinkah sejarah kita hari ini berulang seperti sejarah generasi pertama umat ini. Sangat mungkin! Tentu apabila kita mau memenuhi syarat-syaratnya. Sebagiannya telah kami sebutkan dalam makalah ini, yaitu dakwah dan politik sebagai instrumen terlaksananya ajaran Islam harus menyatu menjadi karakter setiap muslim, atau dengan kata lain menjadi poltisi dakwah.

3. Karakteristik Politisi Dakwah

Setiap muslim berkewajiban menjadi dai, paling tidak, untuk dirinya dan keluarganya, sebagaimana Rasulullah saw berwasiat: “Sampaikanlah tentang ajaranku walaupun satu ayat.” Dan sekaligus secara perlahan menjadi politisi dakwah, sebagaimana telah kami ungkapkan sebelumnya. Adapun sifat dan karakter yang dimiliki para politisi dakwah adalah sebagai berikut:

A. Memiliki Keperibadian politik.

Kepribadian politik adalah sekumpulan orientasi politik yang terbentuk pada diri seseorang dalam menyikapi dunia politik. Ia memiliki tiga aspek.

Pertama, Doktrin-doktrin yang mengandung makna politis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Doktrin-doktrin yang tidak langsung meliputi:

(a) Doktrin khusus yang berkaitan dengan ketuhanan, manusia, alam semesta, pengetahuan dan nilai-nilai. Yaitu:

  • Keyakianan bahwa Allah swt adalah musyarri’ (Pembuat hukum).
  • Keyakinan bahwa al-wala’ (loyalitas) dan al-bara’ (anti loyalitas) adalah konsekuensi aqidah, loyal hanya kepada Allah, Rasul dan orang-orang beriman. Dan kepada selainnya tidak akan pernah loyal.
  • Keyakinan bahwa semua manusia sama dalam hal penciptaan, hak dan kewajibannya.
  • Keyakinan bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi, dengan tujuan memakmurkan bumi sesuai dengan syariat Allah, dan bahwa alam ini ditundukkan untuknya.
  • Keyakinan bahwa sumber nilai-nilai adalah wahyu.

(b) Doktrin khusus tentang masyarakat, perubahan sosial, dan perempuan. Yaitu:

  • Keyakinan bahwa karakteristik dan prinsip masyarakat muslim adalah akhlak.
  • Keyakinan bahwa perubahan sosial adalah atas dasar kemauan dan gerak manusia itu sendiri, berangkat dari pembinaan individu, kemudian keluarga, masyarakat dan negara.
  • Keyakianan bahwa perempuan memiliki hak-hak politik sama dengan hak-hak politik laki-laki.

Sedang doktrin-doktrin yang mengandung makna politis secara langsung adalah:

(a) Doktrin khusus tentang keadilan dan kedamaian sosial.

(b) Doktrin tentang strategi moneter, kemerdekaan dan kebangkitan ekonomi.

(c) Doktrin khusus tentang hukum dan kekuasaan, bahwa hukum Islam sebagai sumber kekuasaan; umat sebagai lembaga pengawas dan yang mengangkat dan menurunkan pemerintah; syura adalah keniscayaan; keadilan ditegakkan; kebebasan dan persamaan derajat adalah hak dan kebutuhan setiap orang.

(d) Doktrin khusus tentang kepahlawanan dan kewarganegaraan.

(e) Doktrin khusus tentang kemerdekaan kultural; kewajiban membebaskan diri dari penjajahan; dan kewajiban berjihad di jalan Allah.

Kedua, Pengetahuan dan wawasan politik, masalah ini akan dibahas pada point memiliki kesadaran politik.

Ketiga, Orientasi dan perasaan politik. Para politisi dakwah yang telah meyakini doktrin-doktrin di atas, disertai dengan pengetahuan dan wawasan yang luas tentang politik, maka pasti ia memiliki orientasi dan perasaan politik. Diantaranya: Loyal kepada pemerintah yang menegakkan syariat Islam; rasa ukhuwah insaniyah dan islamiyah, serta rasa persamaan derajat dengan orang lain; hasrat melakukan perubahan sosial dengan ishlah dan tarbiyah; menghindari kekerasan; menghargai pendapat orang-orang berpengalaman; sikap positif terhadap aktivitas positif; benci kesewenang-wenangan; cinta kemerdekaan; rasa kewarganegaraan dan kepahlawanan; rasa benci dan tunduk kepada bangsa lain; mendukung gerakangerakan-gerakan kemerdekaan di seluruh dunia; bermusuhan dengan penjajah dan seterusnya.

Kesemua orientasi dan perasaan politik tersebut sangat penting, dan seharusnya politisi dakwah membangunnya pada dirinya dan pada umat Islam serta pada masyarakat umum.

B. Memiliki kesadaran politik.

Kesadaran poltik yang musti dimiliki oleh seorang politisi dakwah adalah:

Pertama, Kesadaran misi, yaitu kesadaran terhadap ajaran Islam itu sendiri, atau kesadaran akan doktrin-doktrin yang telah disebutkan di depan. Ia meliputi pada penyadaran akan dasar-dasar aqidah, akhlak, sosial, ekonomi dan plitik Islam; Juga meliputi pada penyadaran akan pentingnya aplikasi Islam, sebagai asas identitas umat; Selanjuntnya meliputi pula pada penyadaran terhadap karakteristik konseptualnya. Misalnya ia adalah konsep universal untuk seluruh zaman dan tempat.

Kedua, Kesadaran gerakan, yaitu kesadaran terhadap ajaran islam tidak akan terwujud di tengah masyarakat dan negara kecuali ada organisasi pergerakan yang berkomitmen dengan asas Islam, dan bekerja untuk mewujudkannya.

Ketiga, Kesadaran akan problematika politik yang terjadi di masyarakat, yang meliputi probelematika politik nasional, regional dan internasional. Contoh untuk problematika nasional adalah penegakan hukum Islam dengan usulan agar UUD 1945 pasal 29 diamandemen, dan memasukkan ke dalamnya tujuh kata piagam Jakarta.

Keempat, Kesadaran akan hakikat dan sikap politik, yaitu kemapuan politisi dakwah memahami peristiwa poltik dan sadar akan sikap kekuatan-kekuatan politi dalam menghadapi berbagai peristiwa politik itu sendiri. Kesadaran semacam ini tidak mungkin ada tanpa kemampuan mutabaah terhadap berbagai peristiwa dan berbagai kekuatan politik baik melalui media massa maupun kajian-kajian.

Keempat kesadaran poltik tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesadaran misi adalah kesadaran permanen; kesadaran gerakan adalah kesadaran permanen dan fleksibel; kesadaran problematika politik adalah kesadaran fleksibel berdasarkan pandangan yang permanen; dan kesadaran sikap politik adalah kesadaran fleksibel sesuai jenis peristiwa.

C. Berpatisipasi dalam kegiatan-kegiatan politik.

Paertisipasi politik seseorang sangat bergantung orientasi politiknya yang telah terbentuk oleh doktrin-doktrin politik yang telah diyakininya. Maka seorang politisi dakwah yang telah meyakini bahwa menegakkan pemerintahan Islam dalah kewajiban, pasti akan berparisipasi pada setiap kegiatan politik yang kan menuju ke sana. Dalam rangka menggapai keyakinan tersebut, seorang politisi dakwah dapat berpartisipasi; pertama, dalam bentuk individu dengan menjadi anggota organisasi politik; sedang yang kedua, dalam bentuk memberikan solusi atas realita dan problematika masyarakat.

Contoh untuk bentuk yang pertama adalah, lahirnya parati-partai politik yang sebelumnya hanya berbentuk gerakan-gerakan dakwah yang terorganisir rapi dan sistematis, yang kemudian setiap anggota gerakan menjadi anggota partai politik secara otomatis. Dan mensukseskan setiap kegiatan partai tersebut pada setiap jenjang struktur yang menjadi hak dan wewenangnya.

Sedang contoh untuk bentuk yang kedua adalah, keikutserataan seorang politisi dakwah dalam aksi-aksi politik, seperti demonsntrasi menentang kebijakan nasional ataupun internasional yang merugikan agama Islam, atau keikutsertaan seorang politisi dakwah dalam pelayanan sosial, misalnya dengan membantu warga yang sedang mendapatkan musibah atau bencana alam, atau dengan melakukan upaya menghilangkan buta huruf di masyarakat, atau dengan mengadakan aksi mengangkat masyarakat dari bawah garis kemiskinan dls.

4. Langkah-langkah Menjadi Politisi Dakwah

Semoga dengan uraian di depan dapat menghilangkan keterbelahan pemahaman bahwa dakwah dan poltik adalah sesuatu yang kuntra, dan tidak dapat disatukan dalam satu aktifitas. Semoga pula dapat ‘menggoda’ kita untuk menanam saham kebaikan dalam rangka membangun peradaban dunia, yang sesuai kehendak Allah, melaui aktifitas dakwah dan politik. Akan tetapi dari mana kita memulai?

Pertama, Membangun kembali pemahaman kegamaan kita, bahwa agama Islam itu agama yang syamil, mencakup seluruh aspek kehidupan; bahwa agama Islam itu asasnya aqidah, batangnya amal ibadah dan buahnya adalah akhlak; bahwa agama Islam itu diamalkan di dunia dan pahalanya diperoleh di akhirat; bahwa agama Islam itu diturunkan Allah untuk semua manusia, dan sterusnya. Pemahaman ini harus dibangun melalui peroses belajar mengajar. Islam mengajarkan bahwa belajar dilakukan dengan dua hal: Satu, dengan membaca fenomena-fenomena alam dan literatur-literatur; dan dua, dengan belajar melalui guru. Kedua metode tersebut harus dilakukan oleh stiap muslim, tidak boleh hanya salah satunya. Sebab dengan membaca saja seseorang dapat tersesat, atau dengan melalui guru saja, seseorang memiliki wawasan yang sempit. Karena dengan demikian, kita sebagai politisi dakwah dapat mengamalkan Islam penuh tanggung jawab, tidak berdasarkan hawa nafsu.

Kedua, Membangun kembali kebersamaan kita, bahwa kita itu bersaudara, tidak dipisahkan oleh batasan darah, suku dan bangsa, apalagi hanya dibatasi oleh perbedaan organisasi keagamaan atau perbedaan madzahab; bahwa kita itu perlu kerjasama dan berjamaah, karena memang setiap amalan dalam agama Islam sangat dianjurkan dilakukan dalam berjamaah; bahwa kita tidak dapat merealisasikan sebagian besar ajaran agama Islam kecuali dengan bersama-sama. Kebersamaan dapat dibangun dengan kemampuan kita melepaskan egoisme individu masing-masing kita, sehingga kita dapat menerima dan memberi nasehat orang lain, serta mampu bersabar atas kekurangan dan perbedaan dalam kebersamaan. Sehingga kebersamaan ini membuat politisi dakwah menjadi kuat dan dapat segera mencapai cita-citanya.

Ketiga, Mengenal kembali potensi dan kelebihan diri kita; bahwa masing-masing kita memiliki kelebihan yang berbeda dengan orang lain; bahwa kelebihan kita dapat menjadi keunggulan yang menutupi kekurangan orang lain; bahwa keunggulan kita dapat menghapus kelemahan kita. Yang penting, dengan keunggulan itu dapat kita jadikan sebagai sarana yang memanjangkan umur pahala kita. Sehingga kita menumbuhkannya secara terus dan menjadi politisi dakwah melalui keunggulan tersebut.

Keempat, Memahami kembali realitas kehidupan kita; bahwa kita hidup pada hari ini, bukan hari kemarin yang sangat mungkin kulturnya jauh berbeda dengan hari ini; bahwa kehidupan itu penuh dengan dinamika, sehingga kita politisi dakawah dituntut memiliki kemampuan mengaktualisasikan ajaran Islam, dalam bentuk sarana, metode, dan cara sesuai zaman, tanpa harus keluar dari frame dasar agama ini.

Akhirnya, Telah menjadi harapan kami, semoga kita dapat menjadi politisi dakwah yang mempelopori pelaksanaan ajaran Islam, secara bersama-sama, berangkat dari keunggulan kita masing-masing, dalam nuansa memperhatikan keadaan, perubahan dan dinamika zaman, yang pada gilirannya Islam tidak hanya tertulis dalam Al-Qur’an, tergambar dalam Sunnah dan tertarjamah dalam buku-buku, tapi menjadi kenyataan di muka bumi. Atau tidak hanya menjadi gambar dan maket, tapi dapat menjadi bangunan yang kokoh, yang semua orang dan makhluk dapat bernaun dan tinggal dengan damai dalam bangunan tersebut. Allahu a’lam

Selasa, 03 November 2009

Berpolitik Bagian Dari Dakwah

Berpolitik Bagian Dari Dakwah

Sidang Paripurna (presidenri.go.id)dakwatuna.com - Allah SWT. telah menurunkan Risalah terakhir yang merangkum seluruh risalah nabi-nabi sebelumnya. Risalah yang bersifat “syaamilah mutakaamilah” (komprehensif dan integral). Risalah yang tidak ada satupun dimensi kehidupan kecuali ia mengaturnya secara sistemik baik secara global maupun secara spesifik. Oleh karenanya, Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah:208)

“Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu.” (Al-Maidah:48)

Risalah Islam ini sesungguhnya “Risalah Nabawiyah” yang terakhir yang sengaja diturunkan sebagai “way of life” (cara hidup) bagi seluruh manusia. Oleh karenanya ia bicara tentang seluruh dimensi kehidupan manusia. Baik dimensi aqidah, ibadah maupun dimensi akhlak. Dan yang termasuk dalam tiga dimensi ini adalah masalah ekonomi, sosial budaya, politik dan keamanan. Di sini, tidak boleh ada yang melakukan dikotomi dalam ajaran Islam. Tidak ada yang mengatakan: “Islam Yes, Politik No”, dan tidak ada lagi yang mengatakan: “Dakwah Yes, Politik No”. atau mengatakan: “Yang penting adalah aqidah, yang lain nggak penting.”

Selanjutnya bagaimana kita memiliki pemahaman yang komprehensif ini dan memperjuangkannya dalam kehidupan kita. Yang akhirnya lahirlah pencerahan dan perbaikan dalam dunia ekonomi, sosial budaya, politik dan keamanan yang berimpact kepada kebaikan dan maslahat umat.

Tarbiyah Siyasiyah

Tarbiyah siyasiah yang bermakna pendidikan atau pembinaan politik adalah sangat urgent dipahami oleh setiap muslim. Karena pemahaman politik yang sejatinya, tidak sama dengan pemahaman selama ini dalam ilmu politik secara umum, yaitu berpolitik yang hanya dimaksudkan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Akan tetapi kita berpartisipasi dalam politik untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran ilahiah dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Berkuasa untuk melayani umat, dan memimpin untuk memperbaiki sistem yang tidak berpihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.

Oleh karenanya, seluruh aktivitas yang berkaitan dengan gerakan berpartai dan berpolitik, disebut dengan “Jihad Siyasi” (Perjuangan Politik). Dalam bahasa Imam Hasan Al-Banna, perjuangan ini dikatagorikan dalam marhalah “rukun amal” yang disebut “Ishlahul Hukumah” (Perbaikan Pemerintahan).

Keberhasilan dan kesuksesan berpolitik atau jihad siyasi harus berimpact kepada dimensi kehidupan yang lain. Harus berimpact kepada dunia pendidikan dan dakwah. Yang berujung kepada pencerdasan anak bangsa dan pencetakan generasi rabbani. Harus berimpact kepada dunia ekonomi dan sosial budaya. Yang berakhir kepada pemeliharaan aset-aset negara dan pendayagunaan kepada masyarakat yang lebih luas. Begitu juga mampu memelihara identitas atau jati diri bangsa yang bertumpu pada pondasi spirituil dalam aspek sosial budaya.

Seruan dan anjuran kepada umat Islam untuk kembali ke barak atau ke dunia dakwah saja dengan pemahaman yang sempit, karena alasan bahwa dunia politik adalah dunia “rawan dan beranjau”, dunia yang sarat dengan kebohongan, ketidak jujuran, khianat, gunjing-menggunjing, halal menjadi haram, haram menjadi halal, atau menyetujui demokrasi yang merupakan produk Barat, adalah sebuah seruan kemunduran dalam berdakwah. Bukankah seruan ini seperti orang yang mengatakan dulu: “Islam Yes, Politik No”. Sebuah adigium yang dulu merupakan musuh bersama umat Islam dan da’i yang mengajak kembali manusia kepada Islam secara kaffah atau komprehensif.

Dan bila ada sebagian kader yang tergelincir dan terjerumus dalam permainan sistem yang destruktif negatif, maka tugas umat, organisasi massa Islam atau organisasi politik Islam untuk menyiapkan sarana dan prasarana agar setiap yang terjun ke dunia politik tetap istiqamah dalam menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya dan tetap menjaga integritas diri.

Baina Ad-Dakwah Was Siyasah

Apakah ada pertentangan antara dakwah dan siyasah atau politik?. Jawaban pertanyaan ini akan menyelesaikan kerisauan dan kegamangan kita dalam melakukan kerja-kerja dakwah selanjutnya yang bersinggungan dengan dunia politik dan langkah meraih kemenangan “Jihad Siyasi” dalam perhelatan pemilihan wakil-wakil rakyat dan pemimpin negeri ini.

Ayat di atas dan pengertian Islam yang didefinisikan oleh Imam Hasan Al-Banna di bawah ini adalah dalil yang menunjukkan tentang titik temunya amal da’awi dan amal siyasi dalam bingkai keislaman. Jadi tidak ada samasekali pertentangan antara dunia Dakwah dengan dunia Politik. Coba kita renungkan pernyataan Beliau dalam “Risalatut Ta’lim”:

الإسلامُ نِظَامٌ شَامِلٌ يَتَنَاوَلُ مَظَاهِرَ الحَيَاةِ جَمِيْعًا فهو دَوْلَةٌ وَوَطَنٌ أَوْ حُكَُوْمَةٌ وَأُمَّةٌ، وَهُوَ خُلُقٌ وَقَوَّةٌ أَوْ رَحْمَةٌ وَعَدَالَةٌ، وَهُوَ ثَقَافَةٌ وَقَانُوْنٌ أَوْ عِلْمٌ وَقَضَاءٌ، وَهُوَ مَادَّةٌ وَثَرْوَةٌ أَوْ كَسْبٌ وَغَِنىً، وَهُوَ جِهَادٌ وَدَعْوَةٌ أَوْ جَيْشٌ وَفِكْرَةٌ، كَمَا هُوَ عَقِيْدَةٌ صَادِقَةٌ وَعِباَدَةٌ صَحِيْحَةٌ سَوَاءٌ بِسَوَاءٍ

“Islam adalah nidzam (aturan) komprehensif yang memuat seluruh dimensi kehidupan. Ia adalah daulah dan tanah air atau pemerintahan dan ummat, ia adalah akhlak dan kekuatan atau rahmat dan keadilan. Ia adalah tsaqafah (wawasan) dan qanun (perundang-undangan) atau keilmuan dan peradilan, ia adalah materi dan kesejahteraan atau profesi dan kekayaan. Ia adalah jihad dan dakwah atau militer dan fikrah, sebagaimana ia adalah aqidah yang benar dan ibadah yang shahih ( benar).”

Dakwah yang bertujuan menyeru manusia untuk kembali kepada nilai-nilai Islam secara komprehensif bisa dilakukan oleh kader di manapun ia berada dan apapun profesinya. Apakah ia seorang ekonom, pengusaha, pendidik, teknokrat, birokrat, petani, buruh, politikus (aleg) dan eksekutif (menetri) bahkan seorang presiden sekalipun. Jadi dakwah bukan suatu yang antagonis dengan dunia politik, akan tetapi dunia politik merupakan salah satu lahan dakwah.

Semoga tulisan singkat ini mampu memberi energi baru dan gelora semangat bagi kita umat Islam untuk menguatkan persatuan dan kesatuan untuk menuju Indonesia yang lebih baik, yang diridhoi Allah swt. menuju “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.”

Allahu Akbar Walillahi alhamdu.

Berdakwahlah Agar Selamat Dunia-Akhirat


Berdakwahlah Agar Selamat Dunia-Akhirat

dakwatuna.com - Seorang dai pasti tahu bahwa Allah swt. telah menciptakan manusia untuk tunduk hanya kepada-Nya. وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Al-Dzariyat: 56 ).

Ibadah hanya benar dilakukan bila didasari pengetahuan yang jelas. Pengetahuan yang jelas tidak akan terwujud kecuali mengacu kepad manhaj (pedoman) yang telah digariskan oleh Allah swt. yang telah mengutus para rasul dan nabi-Nya. Mereka, para rasul dan nabi adalah penyeru (du’at) yang menunjukan kepada kebenaran. Demikianlah kesibukan mereka dalam rangka merealisasikan kehendak Allah yang telah manjadikan Adam a.s. sebagai khalifah di muka bumi, memutuskan perkara dengan ketetapan Allah dan melaksanakan segala perintah-Nya.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Al-Baqarah: 30). Maka dari itu, tujuan Allah menciptakan manusia agar dirinya sibuk dengan perintah-Nya.

Imam Ar-Razy berkata, “Ibadah yang bagaimanakah yang menjadi sebab diciptakannya jin dan manusia?” Kami tegaskan, “Ibadah yang dimaksud adalah mengagungkan perintah Allah dan menyayangi ciptaannya.” (Tafsir Ar-Razy, 28/453). Kemudian Ar-Razy berkata, “Mengagungkan Allah menuntut konsekuensi keharusan mengikuti syariat-Nya dan mentaati sabda rasul-Nya, Allah telah memberikan kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya dengan mengutus para rasul dan menjelaskan berbagai jalan dalam merealisasikan kedua bentuk ibadah tersebut di atas. Pembagian ini terkait dengan tugas ibadah adalah pembagian yang mutlak dan menyeluruh.

Dakwah kepada Allah swt. adalah fenomena keagungan Allah swt. yang paling tinggi. Dan seorang dai yang menyerukan kepada fikrah atau sasaran tertentu dengan mengarahkan segala kesungguhan di jalannya, sesungguhnya hal itu dilakukan agar ia dapat memenuhi pencapaian sasaran dan fikrahnya. Barangsiapa yang menyerukan kepada fikrah, maka ia akan dievaluasi atas fikrahnya, sebagaimana fikrahnya juga akan dievaluasi berkenaan dengan dirinya.

Dalam berdakwah kepada Allah terdapat bukti kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya, karena seorang dai ingin mengeluarkan manusia dari jurang kehancuran dan perpecahan di bawah kungkungan penguasa lokal menuju keluasan Islam dan cakrawalanya yang menyejukan, serta aturannya yang mengarahkan kepada kebahagiaan manusia. Juga mengeluarkan mereka dari lobang api neraka menuju taman surga.

Itulah dua sasaran ibadah, juga sekaligus menjadi sasaran dakwah, keselamatan ada pada capaian kedua sasaran tersebut. Para nabi Allah dan rasul-Nya telah berkomitmen dengan perintah Allah dalam berdakwah kepada-Nya dan memelihara tujuan penciptaan-Nya. Setiap rasul yang mulia selalu berobsesi dalam menyerukan manusia kepada keselamatan. Al-Qur’an telah menceritakan tentang pertarungan para nabi dengan kaumnya, selalu dipastikan bahwa pertarungan itu berakhir dengan kemenangan para du’at dan binasanya kaum penzalim penentang dakwah.

Pada kisah Nabi Nuh a.s. bersama kaumnya berakhir dengan:

فَكَذَّبُوهُ فَنَجَّيْنَاهُ وَمَنْ مَعَهُ فِي الْفُلْكِ وَجَعَلْنَاهُمْ خَلَائِفَ وَأَغْرَقْنَا الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُنْذَرِينَ

“Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.” (Yunus: 73)

Dalam kisah Hud a.s. bersama kaumnya juga berakhir dengan:

وَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا هُودًا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَنَجَّيْنَاهُمْ مِنْ عَذَابٍ غَلِيظٍ(58)

“Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari azab yang berat.” (Hud: 58)

Sedangkan dalam kisah Nabi Saleh a.s. bersama kaumnya, hasilnya adalah:

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَالِحًا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَمِنْ خِزْيِ يَوْمِئِذٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيزُ

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan (Kami selamatkan) dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Hud: 66)

Dalam kisah Nabi Luth a.s. dakwahnya berhasil dengan:

قَالُوا يَالُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ(81)فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ(82)

Para utusan (malaikat) berkata, “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorang di antaramu yang tertinggal, kecuali isterimu.” Sesungguhnya mereka akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh, bukankah subuh itu sudah dekat? Maka tatkala telah datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi. (Hud: 81-82).

Kisah dakwah Nabi Syuaib berakhir dengan:

وَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا شُعَيْبًا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَأَخَذَتِ الَّذِينَ ظَلَمُوا الصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دِيَارِهِمْ جَاثِمِينَ

“Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh suatu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (Hud: 94)

Dalam kisah Nabi Musa a.s. dan Fir’aun, berakhir dengan hasil sebagai beikut:

فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ(136)وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ(137)

“Kemudian Kami menghukum mereka, maka Kami tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami itu. Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir`aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.” (Al-A’raf: 136-137)

Demikian pula halnya dengan sebuah Desa Tepi Pantai:

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ(165)

“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Al-A’raf: 165).

Ayat-ayat tersebut di atas menguatkan bahwa keselamatan bagi dakwah kepada Allah, dan inilah janji Allah kepada orang-orang beriman:

ثُمَّ نُنَجِّي رُسُلَنَا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا كَذَلِكَ حَقًّا عَلَيْنَا نُنْجِ الْمُؤْمِنِينَ(103)

“Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman, demikianlah menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (Yunus: 103)

Kemenangan orang-orang mukmin adalah kemenangan para dai, terbukti karena janji dan keputusan (Allah). Inilah garis yang telah ditetapkan Allah (sunnatullah) di muka bumi. Inilah janji untuk para penolong-Nya. Apabila terkadang perjalanan terasa panjang bagi bagi para dai, maka harus dipahami seperti inilah jalannya. Hendaknya para dai tetap yakin kemenangan dan pergantian kekuasaan akan menjadi milik orang-orang beriman. Juga hendaknya para dai jangan tergesa-gesa terhadap janji Allah, hal itu pasti akan terjadi di tengah perjalanan. Allah tidak akan menipu para penolong-Nya, tidak akan lemah untuk menolong mereka dengan kekuatan-Nya, dan tidak akan menyerahkan mereka kepada musuh-musuh-Nya. Bahkan, Allah akan selalu mengajarkan mereka, menambah pengetahuan mereka, dan membekali mereka -dalam cobaan dan penderitaan- dengan bekalan perjalanan.

Tidak Ada Ruginya Berdakwah لا خسارة في الدعوة

Kegiatan dakwah tidak seperti yang dianggap oleh kebanyakan orang, penuh dengan rasa letih, penderitaan, kepenatan dan kesengsaraan. Sesungguhnya kegiatan dakwah –meskipun tidak terlepas dari kelelahan dan kepenatan– seperti makanan lezat dan memuliakan hati. Oleh karena itu para aktivis dakwah selalu tetap berada di jalannya dengan nilai-nilai yang tinggi dan berharga, melipur lara dan mendapatkan kematian adalah kehidupan yang sesungguhnya demi kepentingan dakwah. Mereka adalah orang yang paling bahagia bila dibanding dengan yang lainnya (yang tidak berdakwah). Adapun akhir dari perjuangan dakwah adalah kemenangan dan kekekalan; selain dari itu adalah kehancuran dan kebinasaan.

Dakwah Nabi Muhammad adalah Memberi Perlindungan Bagi Kemanusiaan

Bila diamati beberapa ayat yang menjelaskan tentang pertarungan para nabi dengan kaumnya, maka dapat disimpulkan bahwa orang-orang zalim seluruhnya dimusnahkan oleh azab Allah swt. sehingga tidak ada lagi tersisa dan tidak luput seorang pun dari mereka. Dengan datangnya Nabi Muhammad saw. tidak ada lagi pemusnahan massal, baik dengan topan, halilintar, ataupun badai. Hal ini merupakan penghormatan bagi umat ini yang tidak pernah sunyi dari orang yang berjuang untuk Allah dengan hujjah yang nyata dan kelompok yang terus eksis di atas perintah Allah (dakwah), sampai tiba keputusan-Nya, kelompok tersebut adalah para dai. Lantaran mereka Allah menetapkan keselamatan bagi umat ini dari kebinasaan secara massal. Akan tetapi ketika di bumi ini tidak ada lagi golongan mulia di sisi Allah (para dai), maka kiamat akan segera tiba, sebagaimana tertuang dalam beberapa hadits.

قال: لا تقوم الساعة إلا على أشرار الناس

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak terjadi kiamat kecuali bila seluruh manusia berbuat keburukan.” (Muslim)

وقال: لا تقوم الساعة على أحد يقول : الله الله. وفي رواية حتى لا يقال في الأرض : الله الله .( أخرجه مسلم 1/171 شرح النووي)

Dan Bersabda Rasulullah saw., “Tidak akan terjadi kiamat bila masih ada orang yang menyebut, ‘Allah, Allah’.” Dalam riwayat yang lain, “Sampai tidak ada yang berkata lagi di muka bumi ini, ‘Allah, Allah’.” (Muslim)

وقال : ” يُقبض الصالحون الاول فالأول ويبقى حثالة كحثالة التمر أو الشعير لا يعبأ الله بهم شيئاً

Rasulullah saw. berkata, “Diwafatkan orang-orang yang saleh dari generasi pertama hingga generasi berikutnya, seperti buah kurma dan biji gandum, yang tersisa kemudian hanya yang jelek-jeleknya saja, Allah tidak terbebani sedikitpun oleh keadaan mereka.” (Bukhari)

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa terjadinya kiamat berkaitan dengan hilangnya dawah dan para dainya. Tentu saja ini bukan kaitan sebab akibat, tetapi maksudnya adalah Allah senantiasa menghargai kemanusiaan dengan dakwah dan para dainya. Selama dakwah dan para dainya terus berlanjut, maka tujuan penciptaan di muka bumi ini masih terus berlangsung. Namun, bila dakwah dan para dainya lenyap, maka manusia telah rugi karena alasan kebaikan keberadaannya di muka bumi ini pun menjadi hilang dan tidak berlaku lagi. Demikianlah, sesungguhnya manusia berada di antara dua titik, titik permulaan atau titik penghabisan.

Titik permulaan diisyaratkan dalam firman Allah: وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة “Dan ketika berkata Tuhanmu kepada malaikat sesungguhnya aku menjadikan di muka bumi ini seorang khalifah.” Sedangkan titik penghabisan diisyaratkan dalm hadits Rasulullah saw.,

إن الله يبعث ريحاً من اليمن ألين من الحرير ، فلا تدع أحداً فيه مثقال حبة من إيمان إلا قبضته. (أخرجه مسلم 1/132 شرح النووي).

“Sesungguhnya Allah akan mengirim aroma wewangian dari Yaman yang lebih lembut dari sutra, tidaklah engkau meninggalkan seseorang padanya keimanan seberat biji sawi, melainkan engkau telah menangkapnya (menyelamatkannya).” (Muslim)

Imam Muslim telah mengeluarkan hadits dari Abdurrahman bin Syamasah r.a., “Ketika aku bersama Maslamah bin Makhlad dan bersamanya Abdullah bin Amr bin Ash, berkata Abdullah,

فقال عبدالله : لا تقوم الساعة إلا على شرار الخلق، هم شر من أهل الجاهلية، لا يدْعون الله بشيء إلا رده الله عليهم

“Tidak akan terjadi kiamat kecuali kepada manusia durjana, bahkan mereka lebih durjana dari kaum jahiliyah, doa mereka ditolak oleh Allah.” (Muslim)

Tiba-tiba datanglah Uqbah bin Amir, maka berkata Maslamah, “Hai Uqbah, dengarlah apa yang diucapkan Abdullah.” Uqbah menjawab, “Dia lebih tahu, sedangkan saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,

فسمعت رسول الله يقول: لا تزال عصابة من أمتي يقاتلون على أمر الله، قاهرين عدوهم، لا يضرهم من خالفهم حتى تأتيهم الساعة وهم على ذلك، قال عبد الله: ثم يبعث الله ريحاً كريح المسك مسُّها مسُّ الحرير ، فلا تترك نفساً في قلبه مثقال حبة من إيمان إلا قبضته، ثم يبقى شرار الناس عليهم تقوم الساعة. ( أخرجه مسلم 3/1524 ، شرح النووي)

“Tidaklah sekelompok dari umatku berperang atas perintah Allah, mendesak musuh-musuh mereka, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menentang mereka, sampai datangnya kiamat, sementara mereka tetap seperti itu.”

Abdullah berkata, “Kemudian Allah mengirim aroma seperti aroma kasturi, sentuhannya seperti sentuhan sutra, maka tidaklah engkau tinggalkan seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan seberat biji sawi melainkan engkau menangkapnya, kemudian yang tersisa hanyalah manusia durjana, karena merekalah terjadi kiamat.” (Muslim)

Dapat disimpulkan dari riwayat tersebut ada satu petunjuk bahwa ada korelasi antara kelompok orang beriman dengan datangnya kiamat dan datangnya kiamat karena kedurjanaan manusia. Pengertian dari korelasi yang dimaksud adalah semakin dekatnya kiamat, sebagaimana pendapat Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits ini. Sedangkan hadits lain yang menyatakan:

الآخر لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق إلى يوم القيامة فليس مخالفاً لأن معنى هذا أنهم لا يزالون على الحق حق تقبضهم هذه الريح

“Tidaklah sekelompok umatku terus eksis di atas kebenaran hingga hari kiamat”, tidak bertentangan, karena makna hadits mereka senantiasa di atas kebenaran, yaitu kebenaran mereka memperoleh aroma kasturi.” (Muslim)

Manakala seorang dai telah mencanangkan dirinya untuk berjihad dan mendorong dirinya untuk berkorban di jalan Allah, dan memasuki satu celah untuk menghadapi musuh-musuh Islam, maka keahlian seperti itu akan menjadikan dirinya lebih mampu bermanuver, dan ia dengan izin Allah akan menang dan selamat, sementara musuhnya akan hina binasa. Keselamatan yang dimaksud bukanlah keselamatan individu dari penyakit dan penderitaan, tetapi yang dimaksud adalah keselamatan jamaah dan fikrah pada akhir perjuangan. Adapaun di akhirat nanti gambaran keselamatan adalah kenikmatan permanen dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, di dalamnya terdapat sesuatu di mana mata (ketika di dunia) tidak pernah melihatnya, telinga tidak pernah mendengarkannya dan tidak pernah terlintas dalam hati siapapun.

Untuk Siapa Kita Berjuang?



Untuk Siapa Kita Berjuang?

dakwatuna.com


عن عبد الله بن زيد أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما فتح حنينا قسم الغنائم فأعطى المؤلفة قلوبهم فبلغه أن الأنصار يحبون أن يصيبوا ما أصاب الناس فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم فخطبهم فحمد الله وأثنى عليه ثم قال يا معشر الأنصار ألم أجدكم ضلالا فهداكم الله بي وعالة فأغناكم الله بي ومتفرقين فجمعكم الله بي ويقولون الله ورسوله أمن (رواه مسلم)

Dari Abdullah Bin Zaid, bahwa Rasulullah saw., saat menaklukkan Hunain, membagi-bagikan ganimah (harta pampasan perang). Beliau memberi orang-orang yang hatinya sedang dijinakkan (muallafatu qulubuhum). Lalu sampai (berita) kepada beliau bahwa orang-orang Anshar pun ingin memperoleh apa yang diperoleh orang lain. Maka bangkitlah Rasulullah saw. berkhutbah seraya memuji dan menyanjung Allah lalu mengatakan, “Wahai segenap orang Anshar, bukankah dahulu aku menemukan kalian dalam keadaan tersesat lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian dengan perantaraanku; kalian papa lalu Allah memberi kalian kecukupan dengan perantaraanku; kalian terpecah-belah lalu Allah mempersatukan kalian dengan perantaraanku?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nyalah yang paling banyak jasanya.” (Shahih Muslim juz II: 738)

Kemenangan yang diraih dalam perjuangan dapat menggoda sebagian orang untuk mengklaim –baik secara eksplisit maupun implisit– bahwa dirinyalah yang paling berjasa untuk kemenangan itu. Atau, kalaupun bukan merasa yang paling berjasa, paling tidak mengklaim bahwa dirinya berada dalam jajaran orang-orang berjasa. Dan karenanya, jama’ah dakwah diuntungkan dan berhutang jasa terhadap dirinya. Dalam perasaannya, wajar –bahkan ada yang menganggap harus– bila jam’ah dakwah memberikan kompensasi-kompensasi atas perjuangannya itu.

Tampaknya perasaan semacam itu manusiawi. Buktinya hal itu pernah pula terjadi pada masyarakat Islam terbaik yakni generasi sahabat Rasulullah saw. Hadits yang tertulis di atas adalah bagian dari nasihat yang disampaikan Rasulullah saw. kepada kaum Anshar. Secara lebih lengkap, Ibnu Hisyam dalam kitab sirahnya mencatat sebagai berikut:

Berawal dari cara Rasulullah saw. membagi-bagikan ganimah (harta rampasan perang) Hunain. Beliau membagi justru kepada orang-orang yang baru masuk Islam pada saat penaklukan Makkah (Fathu Makkah), yang notabene belum banyak perngorbanannya. Bahkan pada perang Hunain itu justru merekalah yang pertama lari tunggang-langgang saat mendapat gempuran awal dari musuh. Sedangkan orang-orang yang sudah sejak awal turut berjuang dan malang-melintang dalam kancah jihad, kaum Anshar, tidak mendapatkan sedikit pun dari ganimah itu. Sampai-sampai seseorang dari kalangan Anshar berkata kepada sesama mereka, “Sekarang Rasulullah saw. sudah bertemu dengan kaumnya.”

Desas-desus itu akhirnya sampai kepada Rasulullah saw. Beliau kemudian meminta pimpinan mereka, Sa’ad Bin Ubadah untuk mengumpulkan seluruh kaum Anshar itu di satu tempat. Setelah berkumpul, Rasulullah saw. datang untuk menasihati mereka. “Apa desas-desus yang berkembang di tengah-tengah kalian? Apa perasaan-perasaan yang ada di hati kalian terhadapku?” kata Rasulullah membuka khutbah, setelah bertahmid dan menyanjung Allah swt. “Bukankah aku datang kepada kalian dalam keadaan kalian tersesat lalu Allah memberi kalian petunjuk? Kalian miskin lalu Allah memberi kalian kecukupan? Kalian bermusuhan lalu Allah memadukan hati kalian?” Mereka mengatakan, “Benar, Allah dan Rasul-Nyalah yang paling berjasa dan paling utama.” Rasulullah saw. melanjutkan, “Wahai kaum Anshar, mengapa kalian tidak menjawabku?” Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, dengan apa kami menjawab engkau? Allah dan Rasul-Nyalah yang paling berjasa dan paling utama.” Rasulullah saw. mengatakan, “Demi Allah, kalau kalian mau pasti kalian mengatakan –dan kalian pasti berkata jujur dan dapat dipercaya: ‘Engkau datang kepada kami, wahai Rasulullah, dalam keadaan didustakan lalu kami mempercayai engkau. Engkau datang dalam keadaan dihinakan lalu kami membela engkau. Engkau datang kepada kami dalam keadaan terusir lalu kami melindungi engkau. Engkau datang kepada kami dalam keadaan sengsara lalu kami membantu engkau’. Wahai kaum Anshar, apakah hati kalian lebih mencintai kemilau dunia yang dengannya aku menjinakkan hati sebagian orang agar teguh dalam Islam padahal aku mengandalkan kalian pada keislaman kalian?” Dan pada akhirnya kaum Anshar menyadari kekeliruan mereka dalam memposisikan diri mereka dan memandang Rasulullah saw. Mereka menangis sejadi-jadinya hingga janggut-janggut mereka basah dengan air mata seraya mengatakan, “Kami puas dengan Rasulullah saw. sebagai bagian kami.”

Rasulullah saw. mengingatkan kepada kita bahwa manakala kita mendapat hidayah Allah swt. untuk masuk dalam barisan Islam, menjadi prajurit Allah, lalu melakukan perjuangan dan pengorbanan untuk Islam, maka sesungguhnya itu bukanlah jasa kita untuk perjuangan Islam. Melainkan justru jasa dan karunia Allah kepada kita sekalian. Tanpa hidayah Allah itu kita hanya akan menjadi manusia dengan kualitas benda mati semacam kayu (khusyubum-musannadah), bahkan bagaikan binatang ternak (kal-an’am). Dan tanpa terlibat dalam perjuangan, kita hanya akan menjadi orang-orang yang tidak punya apa pun untuk menjawab pertanyaan Allah swt. saat kita menghadap-Nya: apa yang telah kau lakukan di dunia?

Sungguh, perjuangan kita untuk menegakkan Islam di muka bumi ini sama sekali bukan jasa untuk Allah swt. Karena Dia, tanpa bantuan manusia, mampu menegakkan Islam dengan tangan-Nya sendiri. Dan Allah tidak mendapat keuntungan sedikit pun dari ketaatan manusia. Sebaliknya Dia juga tidak rugi sedikit pun bila seluruh manusia ingkar pada-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak membutuhkan) sekalian alam. Dan firman-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (Adz-Dzariyaat: 56-58)

Bukan pula perjuangan kita untuk membela dan menguntungkan Rasulullah saw. Karena, pertama kita sudah jauh dari masa hidup Rasulullah saw. Dan kedua, para sahabat yang nyata-nyata terlibat dalam perjuangan dan pengorbanan bersama Rasulullah saw. saja pun hakikatnya bukan membela Rasulullah saw. Karena tanpa bantuan kaum Muslimin pun Rasulullah saw. sudah nyata-nyata dibela oleh Allah swt. Kepada para sahabat yang habis-habisan membela dan berjuang untuk Islam bersama Rasulullah saw. itu Allah swt. berfirman: “Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seseorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah berduka cita, sesungguhya Allah bersama kita”. Maka Allah menurunkan ketenangan kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 40)

Lalu, apakah perjuangan dan pengorbanan kita menguntungkan Islam? Islam tanpa kita, akan ada orang lain yang memperjuangkannya. Allah swt. menegaskan hal itu dengan ayat-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Maidah: 54)

Rasulullah saw. pun bersabda, “Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menegakkan kebenaran tanpa terganggu oleh orang yang menghinakan dan menentang mereka, hingga datang kemenangan dari Allah dan mereka tetap dalam keadaan demikian.” (Muslim)

Jadi harus kita sadari, sesungguhnya segala yang kita lakukan dalam perjuangan dengan segala macam bentuk pengorbanan adalah jasa kita untuk diri kita sendiri. Untuk diri kita saat menghadap Allah swt. Sebab, setiap kita hanya akan memperoleh apa yang kita lakukan di dunia. “Dan seseorang tidak akan memperoleh selain dari apa yang telah dia usahakan.” Iman, hijrah, jihad dengan harta dan jiwa, itulah yang akan menghantarkan kita menjadi orang yang sukses sejati, sebagaimana yang Allah jelaskan: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (At-Taubah: 20). Allahu a’la

MENENGOK PERANAN PEMUDA MENUJU PERUBAHAN


MENENGOK PERANAN PEMUDA MENUJU PERUBAHAN

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”

(QS Ali Imran : 104).

Pemuda merupakan bagian tak terpisahkan dari rakyat. Dari tangan para pemuda inilah nasib bangsa dan Negara dipertaruhkan. Dalam perjalananya para pemuda yang dipelopori oleh mahasiswa mencoba untuk terus memperjuangkan kepentingan rakyat walaupun di satu sisi akan berbenturan dengan berbagai kepentingan rezim. Akan tetapi inilah hal yang membuktikan bahwa mahasiswa/pemuda merupakan iron stock yang akan membawa perubahan ke depan.

Ada fakta menarik bila kita sedikit flash back sejarah pergerakan mahasiswa dari rezim orba-reormasi:

1965

Demonstrasi terjadi di mana-mana sebagai reaksi ketidakpuasan mahasiswa akibat kebijakan pemerintah saat itu yang mengakibatkan ketimpangan social semakin terlihat. Kesenjangan ekonomi semakin tampak yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat semakin menjadi. Reaksi ini mengkibatkan rakyat dan mahasiswa mengeluarkan TRITURA:

1. Turunkan harga

2. Rombak Kabinet dwikora

3. Bubarkan PKI

1974

Terjadi peristiwa MALARI . ratusan mahasiswa ditangkap karena dituduh berbuat makar. Peristiwa ini terjadi akibat pasar Indonesia dikuasai jepang hal ini jelas merugikan rakyat dan eksistensi Negara sendiri.

1978

Lahirnya NKK/BKK, yang menuntut mahasiswa untuk study oriented. Dema (dewan mahasiswa) dibubarkan, organisasi ekstra kampus dilarang beraktivitas di dalam kampus. Hal ini menyebabkan sempitnya ruang gerak dan berpikir mahasiswa. NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) adalah upaya untuk menjaga kehidupan kampus agar tetap beorientasi akademis. BKK (Badan Koordinasi Kampus) adalah upaya penyempitan ruang gerak mahasiswa melalui pengawasan yang ketat dari rektorat.

1980an

Untuk menekan pengaruh Islam, pemerintah memberlakukan asas tunggal (PANCASILA). Azas Pancasila terus didoktrinkan dalam kehidupan kampus. Hal ini juga menyebabkan HMI pecah menjadi HMI DPO dan HMI MPO.

1998

Badai krisis ekonomi menghantam Indonesia, kondisi ini semakin parah dengan adanya KKN para elite politik. Tuntutan agar Ssoeharto mundur terjadi dimana-mana, tragedi trisakti puncaknya. Mahasiswa dan rakyat berhasil menduduki gedung MPR/DPR. Rezim orba berakhir setelah pada tanggal 21 Mei 1998 menyatakan mengundurkan diri sebagai Presiden RI.

Era Reformasi

Pada era Presiden Habibie banyak ketidakpuasan yang disinyalir Habibie merupakan produk orba. Pada saat era Gus Dur juga diwarnai aksi akibat kasus bullogaite, nepotisme,dll yang berujung pemberhentian Gusdur sebagai presiden pada waktu itu. Pada era Megawati juga banyak demonstrasi Mahasiswa di berbagai daerah. Mahasiswa dan rakyat tidak puas dengan rezim waktu itu yang telah menjual aset nasional, korupsi sukhoi, dll. Ketika tampuk kepemimpinan beralih k SBY, juga tidak luput dari sorotan mahasiswa terhadap kinerja. Kebijakan menaikan harga BBM dan kedatangan bush menjadi isu paling dominan seputar demonstrasi mahasiswa. Pemerintah juga dinilai plin-plan terkait kebijakan menaikkan harga BBM. Pemerintah juga dinilai melukai rakyat dengan memanfaatkan momentum pemilu 2009 sebagai ajang untuk meraup suara dengan menaikkan gaji guru yang dinilai syarat unsur politis.

Fakta menarik yang bisa kita simpulkan dari kejadian di atas yaitu bahwa pemuda yang dipelopori oleh mahasiswa dari rezim orde lama-orde reformasi ini senantiasa terus bergerak mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah melalui mimbar bebas,demonstrasi, diskusi publik, dll. Hal ini terus dilakukan oleh mahasiswa sebagai iron stock bangsa untuk membela kepentingan rakyat.

Momentum bagi pemuda sebetulnya sudah di mulai sejak zaman Rasulullah SAW. Bagaimana ketika itu beliau menjadi contoh riil semangat pemuda yang berhasil menyebarkan Islam sampai ke penjuru dunia. Umar bin Khattab mengatakan “setiap aku mempunyai masalah maka yang kucari adalah pemuda”.

Bila kita menengok di negara kita, Soekarno pernah mengatakan “berilah aku seorang pemuda maka aku akan mengguncang dunia”. Hal ini juga teraktualisasi dalam sumpah pemuda pada tahun 1928 sebagai pelopor persatuan nasional. Pada 1945 juga peran pemuda sebagai pelopor proklamasi kemerdekaanRI. Berujung pada 1998 juga peran serta pemuda yang berhasil menumbangkan rezim orba yang bertahan selama 32 tahun.

yaa ayyuhassabab inna fi yadikum amrol ummah wa fii aqdamikum hayaataha”

(wahai pemuda sesungguhnya di tanganmu urusan bangsa dan di derap langkahmu tertumpu hidup dan matinya suatu bangsa).

Pemuda selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad menjadi corong kebangkitan suatu bangsa..bagaimanakah dengan sekarang?? Bila kita melihat bagaimana efek dari sumpah pemuda yang telah mengikat seluruh pemuda di tanah air untuk bersatu melawan imperialisme, pragmatisme, hedonisme, ini menjadi suatu titik tolak kebangkitan bangsa pada saat itu.

Siapapun yang memimpin bangsa ini, kepentingan rakyat tetap harus diperjuangkan. Islam telah mengajarkan bahwa apabila suatu urusan tidak diserahkan kepada ahlinya tunggulah saat kehancuran. Di era reformasi ini seharusnya menjadi momentum bagi pemuda sebagai nahkoda masa depan bangsa. Akan tetapi bila kita lihat di era reformasi inipun, praktis peninggalan orde barulah yang sampai sekarang sebagai nahkoda masa depan bangsa. Ini tentunya kontras dengan spirit dan idealisme para pemuda yang berjuang tak kenal lelah.

Momentum tentunya masih ada dan akan terus berlanjut beriringan dengan spirit pemuda itu sendiri. Kedepan diharapkan akan muncul sosok-sosok pemuda yang memiliki jiwa negarawan. Pemuda muslim tentunya akan menjadi icon besar dalam peranannya mengawal agenda-agenda reformasi. Pribadi Muslim Negarawan diharapkan akan senantiasa menghiasi pemuda-pemuda muslim bangsa ini sebagai umat mayoritas di Tanah Air ini yang ke depan diharapkan mampu membawa perubahan positif bagi bangsa dan negara ini. Pribadi Muslim Negarawan tidak hanya sebagai pejabat politik, tetapi juga berani menolak setiap bentuk intervensi asing dan berbuat untuk kepentingan rakyat yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam.

Bila kita perhatikan selama ini kebanyakan peranan pemuda hanya sebatas sebagai “yudikatif (pengawas)” kebijakan-kebijakan pemerintah. Sang “eksekutif (eksekutor)” adalah pemerintah yang rata-rata dihuni pejabat tua. Hal ini seringkali terjadi benturan ditataran lapangan diakibatkan perbedaan paradigma antara golongan tua dan muda. Sejarah di Republik ini mencatat pemuda/mahasiswa selalu berada di garda depan membela kepentingan rakyat.

Solusi alternatif kedepan diharapkan terjadinya keseimbangan antara golongan tua dengan golongan muda ditataran legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Artinya ke depan perumus kebijakan, pelaksana kebijakan, dan pengawas kebijakan merupakan kolaborasi yang seimbang antara kaum senior dengan pemuda. Solusi ini diharapkan akan membawa bangsa dan negara ini menuju bangsa dan negara yang adil dan bermartabat. Wallahua’lam

By : Firdian Tri Cahyo (Ketua Umum KAMMI Komisariat UNEJ)